Selasa, 16 April 2013

Prinsip Diet Pada Hiperemesis

Prinsip Diet Pada Hiperemesis I. DIET HIPEREMESIS Hiperemesis adalah suatu keadaan pada awal kehamilan ( sampai Trimester II ) yang ditandai dengan adanya rasa mual dan muntah yang berlebihan dalam waktu relatif lama. Bila keadaan ini tidak diatasi dapat menyebabkan dehidrasi dan penurunan berat badan. Ciri khas diet hiperemesis adalah penekanan pemberian karbohidart kompleks terutama pada pagi hari, serta menghindari makanan yang berlemak dan goreng-gorengan untuk menekan rasa mual dan muntah. Sebaiknya diberi jarak dalam pemberian makan dan minum. Diet pada hiperemesis gravidarum bertujuan untuk : mengganti persediaan glikogen tubuh dan mengontrol asidosis secara berangsur memberikan makanan berenergi dan zat gizi yang cukup Diet hiperemesis gravidarum memiliki beberapa syarat, diantaranya adalah : Karbohidrat tinggi, yaitu 75-80% dari kebutuhan energi total Lemak rendah, yaitu < 10% dari kebutuhan energi total Protein sedang, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total Makanan diberikan dalam bentuk kering; pemberian cairan disesuaikan dengan keadaan pasien, yaitu 7-10 gelas per hari makanan mudah cerna, tidak merangsang saluran pencernaan, dan diberikan sering dalam porsi kecil Bila makan pagi dan siang sulit diterima, pemberian dioptimalkan pada makan malam dan selingan malam Makanan secara berangsur ditingkatkan dalam porsi dan nilai gizi sesuai dengan keadaan dan kebutuhan gizi pasien Ada 3 macam diet pada hiperemesis gravidarum, yaitu : 1. Diet Hiperemesis I Diet hiperemesis I diberikan kepada pasien dengan hiperemesis gravidarum berat. Makanan hanya terdiri dari roti kering, singkong bakar atau rebus, ubi bakar atau rebus, dan buah-buahan. Cairan tidak diberikan bersama makanan tetapi 1-2 jam sesudahnya. Karena pada diet ini zat gizi yang terkandung di dalamnya kurang, maka tidak diberikan dalam waktu lama. 2. Diet Hiperemesis II Diet ini diberikan bila rasa mual dan muntah sudah berkurang. Diet diberikan secara berangsur dan dimulai dengan memberikan bahan makanan yang bernilai gizi tinggi. Minuman tidak diberikan bersamaan dengan makanan. Pemilihan bahan makanan yang tepat pada tahap ini dapat memenuhi kebutuhan gizi kecuali kebutuhan energi. 3. Diet Hiperemesis III Diet hiperemesis III diberikan kepada pasien hiperemesis gravidarum ringan. Diet diberikan sesuai kesanggupan pasien, dan minuman boleh diberikan bersama makanan. Makanan pada diet ini mencukupi kebutuhan energi dan semua zat gizi. Makanan yang dianjurkan untuk diet hiperemesis I, II, dan III adalah : - Roti panggang, biskuit, crackers - Buah segar dan sari buah - Minuman botol ringan (coca cola, fanta, limun), sirop, kaldu tak berlemak, teh dan kopi encer Makanan yang tidak dianjurkan untuk diet hiperemesis I, II, III adalah makanan yang umumnya merangsang saluran pencernaan dan berbumbu tajam. Bahan makanan yang mengandung alkohol, kopi, dan yang mengadung zat tambahan (pengawet, pewarna, dan bahan penyedap) juga tidak dianjurkan. Prinsip Gizi Pada Hyperemesis 1. Dasar • Hiperemesis adalah suatu keadaan pada awal kehamilan (sampai trimester II) yang ditandai dengan rasa mual dan muntah yang berlebihan dalam waktu yang relative lama. • Penyebab Hyperemesis Gravidarum belum pasti, dengan penyebab multi faktor diantaranya :  Faktor endokrin yaitu meningkatnya hormon estrogen dan progresteron  Faktor Psikologi  Faktor Gastrointestinal • Pada kehamilan Normal ditemukan keluhan mual dan muntah yang akan berkurang dan hilang pada akhir trimester I. • Pada Hyperemesis Gravidarum ditemukan keluhan mual dan muntah yang berlebihan sehingga menyebabkan keadaan umum ibu hamil buruk jika hal ini sampai terjadi maka ibu hamil membutuhkan terapi diit. • Pengelolaan Penderita : 1. Isolasi dalam ruang dan suasana tenang 2. Terapi obat dan cairan infus 3. Terapi psikologis 4. Terapi diit, baik parenteral dan oral. 2. Tujuan Diit Pada Hyperemesis Gravidarum • Mengganti persediaan glikogen dan mengontrol acidosis • Memberikan makanan yang cukup kalori dan nutrisi lainnya (secara berangsur) • Mencegah terjadinya dehidrasi 3. Syarat Diit Pada Hyperemesis Gravidarum • Tinggi hidrat arang dan rendah lemak • Cukup cairan dengan menyesuaikan kondisi penderita. • Makanan dalam bentuk kering, mudah cerna, tidak merangsang, porsi kecil dan sering. • Untuk menghindari muntah, sebaiknya minuman tidak diberikan bersama makan. • Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. • Secara berangsur diberikan makanan yang memenuhi syarat gizi. 4. Menyusun Menu Pada Hyperemesis Gravidarum a. Diit Hyperemesis Gravidarum I • Untuk penderita dengan Hyperemesis Gravidarum berat • Makanan hanya terdiri berupa roti kering dan buah- buahan. • Cairan diberikan 1 – 2 jam setelah makan. • Makanan ini kurang dalam semua nutrisi, kecuali vitamin C • Makanan yang diberikan dalam sehari: Biskiut 120 gram 6 potong Buah 700 gram 7 potong Jam/selai 30 gram 3 sdm Gula pasir 50 gram 5 sdm • Nilai gizi Kalori 1059 kalori Protein 15 gram Lemak 2 gram Hidrat arang 259 gram Contoh Menu Hyperemesis Gravida I Waktu Menu Takaran Rumah Tangga 08.00 Roti panggang Jam/Selai 2 ptg 1 sdm 10.00 Air Jeruk Gula Pasir 1 gelas 1 sdm 12.00 Roti Panggang Jam / Selai Pepaya Gula pasir 2 potong 1 sdm 2 potong 1 sdm 14.00 Air jeruk Gula pasir 1 gelas 1 sdm 16.00 Pepaya 1 potong 18.00 Roti panggang Jam / selai Pisang Gula pasir 2 potong 1 sdm 1 buah 1 sdm 20.00 Air jeruk Gula pasir 1 gelas 1 sdm b. Diit Hyperemesis Gravidarum II • Diberikan jika rasa mual dan muntah sudah berkurang. • Minuman tidak diberikan bersama waktu makan • Nilai nutrisi masih kurang. • Secara berangsur diberikan makanan yang bernilai gizi tinggi. • Mak yang diberikan dalam sehari : Jenis Berat (gr) Ukuran Rumah Tangga (URT) Beras 150 2 gelas nasi Roti 80 4 potong Protein Hewani 100 2 potong Telur 50 1 butir Protein Nabati 50 2 potong Sayuran 150 1,5 gelas Buah 400 4 potong Margarin 10 1 sdm Gula pasir 30 3 sdm Jam / selai 20 2 sdm • Nilai Gizi Kalori 1672 kal Lemak 33 gram Protein 57 gram Hidrat arang 293 gram a. Diit Hyperemesis Gravidarum III • Diberikan kepada penderitaHyperemesis Gravidarum ringan • Minuman boleh diberikan bersama waktu makan (menurut kesanggupan penderita) • Makanan ini cukup nutrisi. • Bahan makanan yang diberikan dalam sehari: Jenis Berat (gr) Ukuran Rumah Tangga (URT) Beras 200 3 gelas nasi Roti 80 4 potong Biskuit 40 4 buah Protein Hewani 100 2 potong Telur 50 1 butir Protein nabati 100 4 potong Sayuran 150 1,5 gelas Buah 400 4 potong Minyak 10 1 sdm Margarin 20 2 sdm Jam / selai 20 2 sdm Gula pasir 30 3 sdm • Nilai gizi Kalori 2269 kal Protein 73 gr Lemak 59 gr Hidrat arang 368 gr • Makanan yang dianjurkan Roti panggang, biskuit di makan dengan jam, selai. Buah-buahan segar, sari buah. Minuman ringan, sirop, kaldu tak berlemak, kopi encer, Teh • Makanan yang harus dibatasi Goreng-gorengan dan makanan yang berlemak. Makanan yang berbumbu terlalu merangsang.

Kamis, 04 April 2013

Nafkah untuk Anak Pasca Cerai Suami Isteri

Nafkah untuk Anak Pasca Cerai Suami Isteri Menurut Ibnu Qudamah kewajiban memberikan nafkah kepada kedua orang tua dan anak-anak telah ditetapkan berdasarkan al Kitab, Sunnah dan Ijma’. Adapun dari Al-Kitab maka firman Allah SWT : فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ Artinya : "Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya." (QS. Ath-Thalaq : 6) وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ Artinya : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” (QS. Al-Baqarah : 233) Adapun dalam sunnah maka sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, "Ambillah dari hartanya sekadar untuk memenuhi kebutuhanmu dan juga anakmu." (HR. Bukhari) Juga apa yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sebaik-baik dari apa yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah yang berasal dari hasil usahanya, dan anak adalah hasil dari usahanya." Sedangkan Ijma, Ibnul Mundzir mengatakan, ”Ijma para ahli ilmu adalah bahwa memberikan nafkah kepada kedua orang tua yang miskin yang tidak berpenghasilan dan tidak memiliki harta adalah kewajiban didalam harta seorang anak. Begitu juga ijma para ahli ilmu bahwa seorang ayah diwajibkan memberikan nafkah kepada anak-anaknya yang masih kecil lagi tidak memiliki harta.” (al Mughni juz XVIII hal 159) Ibnul Mundzir juga mengatakan bahwa terjadi perbedaan pendapat tentang nafkah bagi anak-anak yang sudah baligh dan tidak memiliki harta atau penghasilan : 1. Sekelompok ulama mewajibkan pemberian nafkah terhadap seluruh anak-anak baik yang masih kecil maupun sudah baligh, perempuan maupun laki-laki apabila mereka termasuk orang-orang yang tidak memiliki harta yang cukup dari bapak-bapak mereka. 2. Sementara Jumhur ulama berpendapat wajib memberikan nafkah kepada mereka hingga mencapai usia baligh bagi yang lelaki dan menikah bagi yang perempuan. Kemudian tidaklah ada kewajiban bagi ayahnya untuk memberikan nafkah —setelah itu, pen— kecuali jika mereka termasuk orang-orang yang lemah (miskin). Dan jika mereka memiliki harta maka tidak ada lagi kewajiban bagi ayah mereka. (Subul as Salam juz V hal 325) Dengan demikian diwajibkan bagi anda memberikan nafkah kepada anak perempuan anda jika ia membutuhkannya meskipun ia tinggal bersama ibunya baik ibunya termasuk orang yang berharta atau tidak, selama anda memiliki kemampuan untuk memberikannya, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud dari Jabir bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian fakir, maka hendaknya ia memulai (sedekah) kepada dirinya sendiri, jika ada kelebihan maka ia berikan kepada keluarganya, jika ada kelebihan maka ia berikan kepada orang yang memiliki hubungan kekerabatan, kemudian jika masih ada kelebihan maka ia bisa memberikannya kepada siapa saja.

Minggu, 02 September 2012

JURNAL RESISTENSI INSULIN TERKAIT OBESITAS: MEKANISME ENDOKRIN DAN INTRINSIK SEL



RESISTENSI INSULIN TERKAIT OBESITAS: MEKANISME ENDOKRIN DAN INTRINSIK SEL
(Obesity Related Insulin Resistance: Endocrine and Cell Intrinsic Mechanism)
Mira Dewi1
ABSTRACT
The number of obese individuals worldwide has reached 2.1 billion and this will lead to explosion of obesity-related morbidity and mortality. Obese individuals will develop resistance to celluler action of insulin. The obesity related insulin resistance is the major risk factor of cardiovascular diseases and Type 2 Diabetes Mellitus, the disease which number has reached epidemic proportion. The association between obesity and insulin resistance seem to be cause and effect relation because studies on human and animal has indicated that the increase or decrease of body weight correlates with insulin sensitivity. Among of many mechanisms proposed, the most often proposed mechanisms are endocrine and cell intrfnsik mechanism. The increase of fatty acid plasma concentration, dysregulation of adipoklnes and ectopic fat storage are proposed to be the endocrfn mechanism that lead to obesity related insulin resistance while oxidative stress and mitochondria dysfunction are the cell Intrinsic mechanisms that play role to the disease. Understanding the molecular mechanisms of obesity related insulin resistance will provide valuable information to search for interventions that help to prevent or treat Type 2 Diabetes Mellitus and cardiovascular diseases and its related pathologies.
Keywords: Obesity, insulin resistance, fatty acid, adipokines, oxidative stress, mitochondria

PENDAHULUAN
Jumlah penderita obesitas di seluruh dunia telah mencapai 2.1 milyar dan hal ini pada gilirannya akan berakibat pada meledaknya masalah kesehatan dan kematian terkait obesitas (Olshansky 2005 dalam Qatanani, 2007). Obesitas merupakan suatu keadaan di mana berat badan seseorang jauh melampaui berat badan standar berdasarkan tinggi badan (Mahan, 2004). Menurut standar indeks masa tubuh (IMT), seseorang dikatakan mengalami obesitas bila nilai IMT-nya lebih atau sama dengan 25.
Pada penderita obesitas akan berkem· bang resistensi terhadap aksi seluler Insulin yang dikarakteristikkan oleh berkurangnya kemampuan insulin untuk menghambat pengeluaran glukosa dari hati dan kemampuannya untuk mendukung pengambilan glukosa pada lemak dan otot (Park, 2006). Resistensi insulin terkait obesitas adalah risiko utama untuk dan penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus tipe2, penyakit yang jumlah penderitanya teo, lah mencapai proporsi epidemik. Empat puluh satu juta penduduk AS menderita prediabetik dengan resistensi insulin, hipertensi dan dislipidemia yang menempatkan penderitanya
pada risiko peningkatan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular (American Diabetes Association diabetes statistics pada http;1 I www. diabetes.org/diabetes-statistlcsl prevalence. jsp).
Kaitan antara obesltas dan resistensi insulin sepertinya adalah sebab-akibat karena studi pada manusia dan hewan mengindikasikan bahwa peningkatan atau penurunan berat badan berkorelasi erat dengan sensitivitas insulin (Urukawa, 2003). Pada tulisan ini akan diuraikan mengenai mekanisme yang menerangkan bagaimana peningkatan massa adiposa pada obesitas menj'adi predisposisi untuk terjadinya resistensl insulin sistemik. Meskipun lebih banyak jalur mekanisme telah diajukan berkaitan dengan hal tersebut, berikut hanya akan diuraikan mengenai dua mekanisme yang paling banyak diajukan, yakni mekanisme endokrin dan intrinsik set.
MEKANISME ENDOKRIN
Peningkatan Konsentrast Asam lemak Plasma
Dahulu, asam lemak yang disekresi dari sel-sel lemak (adiposit) dianggap hanya berfungsi sebagai sumber energi untuk kebutuhan jaringan tubuh tainnya. Pemikiran bahwa asam lemak ini berfungsi sebagai faktor endokrin yang mengatur fungsi metaboHk pertama kali



Jurnal Gizi dan Pangan, Juli 2007 2(2): 49 -54
diajukan >40 tahun lalu ketika Randle dkk. pada 1963 berhipotesis bahwa terjadinya resistensi insulin terkait obesitas hanya dapat dijelaskan oleh adanya kompetisi antara kadar asam lemak yang meningkat dalam sirkulasi dan glukosa untuk metabolisme oksidatif pada sel-sel yang responsif terhadap insulin.
Setelah makan atau infusi lipid, konsen~ trasi asam lemak plasma meningkat dan asam lemak lalu ditransport ke dalam sel B melalui protein pengikat asam lemak (fatty acidbinding protein). Oi dalam sitosol, asam lemak diubah menjadi turunan asam lemak koA, yang pada gilirannya mengganggu sekresi insulin melalui berbagai mekanisme : 1) peningkatan pembentukan asam fosfatidat dan diasilgliserol yang baik secara langsung atau tidak langsung menyebabkan eksositosis dari insulin yang disimpan dalam granul sekretorik, 2) perangsangan Ca2+-ATP retikulum endoplasma yang mengakibatkan peningkatan konsentrasi kalsiurn intraseluler dan penguatan sekresi insulin, dan 3) penutupan kanal K+-ATP yang menghasilkan depolarisasi dari membran sel B, yang menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler dan perangsangan eksositosisdari granut yang mengandung insulin (Bays, 2002; Kantartzis, 2006; Park, 2006).
Hiperglikemia yang terjadi setelah rnakan akan meningkatkan konsentrasi malonil koA di dalam sel B. Malonil ko A menghambat karnitin palmitoil transferase-1, dan mengganggu transport asil koA lemak ke dalam mitokondria di mana ia akan dioksidasi melalui siklus Krebs. Peningkatan asil koA lemak di sitosol bekerja sejalan dengan keadaan hiperglikemia untuk memperkuat sekresi insulin. Konsisten dengan observasi in vitro ini, peningkatan konsentrasi asam lemak plasma jangka pendek (2 sampai 6 jam) diketahui meningkatkan sekresi insulin pada rodensia dan manusia, dan sebaliknya, penurunan akutnya akan menghambat sekresi insulin yang distimulasi oleh glukosa.
Berbeda dengan efek akut dari peningkatan asam lemak yang merangsang sekresi insulin, paparan dalam waktu yang lebih lama (~48 jam) menyebabkan gangguan dalam respon sel B terhadap glukosa, baik in vitro mau pun in vivo pada hewan dan manusia. Efek penghambatan asam lemak plasma yang meningkat secara kronis tampak le6ih nyata pada individu dengan predisposisi genetis terhadap diabetes melitus tipe 2. · Sebaliknya, penurunan konsentrasi asam lemak pada penderita diabetes tipe 2. memperbaiki sekresi insulin.
Unger mengemukakan istilah lipotoksisitas untuk menggambarkan efek penghilangan (deleterious effect) dari peningkatan kronis kadar asam lemak terhadap sekresi insulin oleh sel B pankreas. Pada tikus Zucker yang gemuk dan diabetes, peningkatan kronis kadar asam lemak plasma mula-mula akan mengakibatkan gangguan fisiologis dari sekresi insulin. Seiring dengan waktu, apoptosis sel B terjadi dan massa sel B akan berkurang sampai lebih dari 50%. Oi dalam sel B, peningkatan asil koA lemak akan meningkatkan pembentukan seramide. Seramide, pada gilirannya, akan memperkuat pembentukan oksida nitrat yang bersifat mematikan bagf sel B (Unger, 2000).
Pada sel yang menggunakan glukosa sebagai sumber energi, adalah pengambilan glukosa, bukannya metabolisme glukosa intraseluler, yang telah diimplikasikan sebagai langkah yang rate-limiting untuk terjadinya resistensi insulin yang diinduk-si asam lemak (Shulman 2000). Pada model inf, asam lemak dan beberapa metabolit lain termasuk asil koA, seramid dan diasil gliserol (OAG) bertindak sebagai molekul sfnyaling yang mengaktifkan protein kinase seperti PKC, Jun Kinase(JNK) dan penghambat faktor nuklear B (NFB) kinase (IKK). Kinase-kinase ini dapat merusak sinyaling insulin dengan meningkatkan fosforilasi serin yang bersifat inhiblsl dari Insulin receptor substrate (IRS), suatu mediator kund dari sinyaling reseptor insulin.
Lepas dari mekanisme apa yimg terjadi, peningkatan kronis fisiologis dari konsentrasi asam lemak plasma (478-666 ",mol/liter) pada manusia non diabetes telah terbukti merusak sekresi insulin (Bays, 2002).
Oisregulasi Adipokin
Adiposit mensekresi protein yang aktif secara metabolik. Penemuan leptin oleh Friedman dkk pada 1994 (Zhang et al. 1994 dalam Qatanani, 2007) mengawali era penerimaan bahwa jaringan adiposa adalah organ endokrin, dan bahwa peningkatan massa adiposa pada obesitas dapat menyebabkan perubahan patologis pada hormon adiposit (adipokin) yang mengatur sensitivitas insulin.
Adfponektfn merupakan adipokin yang memiliki sifat insulinomimetik. Hormon ini dikarakteristikkan pada 1995 dan 1996 oleh 4 kelompok ilmuwan menggunakan metode yang berlainan. Kadar adiponektin ditemukan rendah pada obesitas, dan pemberian adiponektin memperbaiki keadaan resistensi insulin pada model hewan (Oiez & Iglesias 2003). Tikus yang kekurangan adiponektin akan menderita into


leransi prematur glukosa yang diinduksi diet dan resistensi insulin, dan mengalami peningkatan asam lemak serum (Maeda et at., 2002). Sebaliknya, overekspresi transgenik adiponektin pada tikus menyebabkan perbaikan sensitivitas insulin, toleransi glukosa dan penurunan kadar asam lemak serum. Oi hati, adiponektin meningkatkan sensitivitas insulin, menurunkan influks asam lemak, meningkatkan oksidasi asam lemak dan mengurangi ()utput glukosa hepatlk (Bays, 2002). Oi otot, adiponektin merangsang penggunaan glukosa dan oksidasi asam lemak mungkin dengan aktivasi sensor bahan bakar seluler, AMP-activated protein kinase (AMPK) (de la Maza MP, 20(6).
Resistin diidentifikasi pada 2001 sebagai protein yang secara spesifik disekresi oleh adiposit yang ekspresinya di down-regulated oleh Thiazolidinedion, obat antidiabet dengan target reseptor inti PPARy (peroxisome proHferator activated receptor y) (Ehtesham, 2001). Beberapa studi menunjukkan bahwa peningkatan ekspresi resistin dan kadarnya dalam serum berkaitan dengan obesitas dan resistensi insulin. Resistin serum ditemukan meningkat pada rodensia dengan obesitas, dan infusi atau ekspresi yang tetap terjaga dari resistin menyebabkan resistensi insulin. Sebaliknya, tikus yang kekurangan resistin memiliki homeostasis glukosa yang baik (Banerjee et al., 2004). Peran resistin pada manusia belum jelas. Bila resistin tikus secara eksklusif diekspresikan di jaringan adiposa putih, pada manusia resistin terutama diekspresikan di dalam se mononuklear yang bersirkulasf (Patel et al., 2003).
PAI-1 (plasminogen activator inhibitor-1) adalah anggota famili inhibitor protease serin dan merupakan penghambat utama fibrinolisis dengan menginaktifkan aktivator plasminogen tipe jaringan. PAI-1 diekspresikan oleh adiposit seperti halnya sel vaskular stromal pada depot adiposa. Kadar PAI-1 plasma meningkat pada obesitas dan resistensi insulin dan menjadi prediktor risiko OM tipe2 di masa depan. Tikus dengan delesi tertarget PAI-1 mengalami penurunan perolehan berat badan pada diet tinggi lemak, peningkatan pemakaian energi, perbaikan toleransi glukosa dan sensitifitas insulin yang baik.
Interleukin-6 (lL-6) adalah sitokin yang. terkait erat dengan obesitas . dan resistensi insulin. Pemberian perifer IL~6 menginduksi hiperlipidemia, hiperglikemia, dan resistensi insulin pada roden dan manusia. IL-6 merusak sinyaling insulin sebagian dengan downregulasi dari IRS dan . upregulasi SOCS-3 (Kantartzis, 2006).
Tumor necrosis factor a (TNF a) adalah sitokin yang awalnya digambarkan sebagai faktor yang diinduksi endotoksin. TNF a adalah sitokin pertama yang diimplikasikan pada patogenesis obesitas dan resistensi insulin. Ekspresi jaringan adiposa dari TNF a meningkat pada rod en dan manusia obes dan secara positif berkorelasi dengan adiposit dan resistensi insulin. Pemaparan kronis terhadap TNF a menginduksi resistensi insulin baik in vitro mau pun in vivo. Penatalaksanaan dengan reseptor TNF a solubel yang menetralkan memperbaiki sensitivitas insulin pada roden obes (Cheung et al. 1998). Pada manusia, kadar TNF a yang bersirkulasi meningkat pada individu nondiabetik obes dan OM tipe2, akan tetapi korelasi antara resistensi insulin dan kadar TNF a plasma relatif lemah (Miyazaki et al., 2003).
Adipokin yang terbaru yang muncul sebagai kontributor pada resistensi insulin yang diinduksi obesitas adalah retinol-binding protein 4 (RBP4). RBP4 diidentifikasi sebagai adipokin yang ekspresinya meningkat pada jaringan adiposa tikus dengan resistensi insulin dengan inaktivasi spesifik adiposa dar! transporter glukosa GLUT4 (Yang et al. 2005·kRBP4 diekspresikan tinggi di hati sebagaimana di jaringan adiposa, dan kadarnya dalam sirkulasi berkorelasi dengan obesitas dan resistensi insulin pada roden (Yang et al. 2005). Oiduga, peningkatan kadar RBP4 serum berkontribusi terhadap resistensi insulin dengan merusak uptake glukosa yang distimulasi insulin pada otot dan meningkatkan produksi glukosahepatik, walaupun mekanismenya belum sepenuhnya dimengerti (Yang et at., 2005).
Sebagai tambahan, adipositas viseral adalah karakteristik dari orang-orang dengan distribusi lemak bentuk apel, yang tampaknya memiliki risiko yang lebih besar untuk terjadi resistensi insulin daripada yang distribusi lemaknya berbentuk buah pir (Bjorntorp et al., 1991). Teori portal mengatakan bahwa resistensi insulin pada hati timbul dari drafnase lemak viseral langsung ke hati via vena portal (Bergman et al., 2007). Perbedaan molekular lainnya antara lemak viseral dan perifer juga berperan dalam resistensi insulin dan berkaitan dengan adipositas viseral (Bergman et at., 2007).











MEKANISME INTRINSIK SEL
Penyimpanan lemak ektopik
Secara kronis, peningkatan asam lemak dalam sirkulasi dan lemak lain yang terjadi




pada keadaan obesitas mengakibatkan penyimpanan lemak ektopik seperti trigliserida pada otot dan hatl. Akumulasi lemak ektopik dilaporkan terjadi pada resistensi insulin (Unger & Orcf, 2000) secara potensial karena turnover trigliserida dan produksi molekul sinyaling turunan asam lemak, atau pengaktifan dari jalur intraselular yang berbahaya seperti Reactive Oxygen Species (ROS), disfungsi mitokondrial, atau cekaman retikulum endoplasmik.
Stres Oksfdatif
Stres oksidatif sistemik yang didefinisikan sebagai ketidakseimbangan persisten antara produksi spesies molekuler yang sangat reaktif (terutama oksigen dan nitrogen) dan pertahanan antioksidan, berhubungan_dengan akumulasi lemak pada manusia dan tikus (Oobrian et of., 2001; Furukawa et at., 2004). Hipotesis bahwa stres oksidatif adalah faktor penyebab dalam berkembangnya resistensi insulin didukung oleh beberapa studi yang menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara ROS dan antioksidan dapat memperbaiki resistensi insulin pada tikus dan manusia (Furukawa et of., 2004). Banyak studi pada manusia dilakukan terhadap hubungan antara stres oksidatif dan resistensi insulin berfokus pada pembentukan ROS oleh hiperglikemia pada pasien diabetes, mengimplikasikan ROS sebagai konsekuensi dari hiperglikemia yang diinduksi OM . dan bukan faktor penyebab untuk terjadinya resistensi insulin (Urukawa et of., 2003). Akan tetapi, karena resistensi insulin telah terjadi sebelum berkembangnya hiperglikemia kronis, sepertinya resistensi insulin pada tingkat prediabetik bukan akibat dari stres oksidatif yang dipicu oleh hiperglikemia saja (Bays, 2002). Peningkatan ROS dalam tahap prediabetik tampaknya lebih karena peningkatan asam lemak terkait obesitas yang menyebabkan stres oksidatif karena peningkatan uncoupling mitokondrial dan oksidasi B, menyebabkan peningkatan produksi ROS (Fariss et at. 2005).
In vitro, ROS dan stres oksidatif mengarah pada pengaktifan kaskade sinyaling kinase serin/treonin multipel (Park et of., 2006). Kinase yang telah diaktifkan ini tidak dapat beraksi pada sejumlah target potensial dalam jalur sinyaling insulin, termasuk reseptor insulin dan famili protein IRS (Insulin Receptor Substrate). Untuk IRS 1 dan IRS 1, peningkatan fosforilasi serin menurunkan jangkauan pengaktifan fosforilasi tirosin. Kinase-kinase yang diaktifkan oleh stres oksidatif termasuk JNK, p38 MAPK, dan IKK (Qatanani et 01., 2007).
Olsfungsl mttokondria
Resistensi insulin dan OM tipe2 berhubungan dengan penurunan fungsi mitokondria yang ikut berperan dalam terbentuknya akumulasi lemak ektopik di otot dan lemak (Shulman, 2000). Perubahan-perubahan ini diikuti dengan penurunan aktivitas oksidatif mitokondria dan sintesis ATP mitokondria, yang keduanya merupakan indikasi penurunan fungsi mitokondria. Penurunan serupa dalam aktivitas mitokondrial dan peningkatan isi lemak intramioseluler juga ditemukan pada anak-anak muda dengan resistensi insulin yang orang tuanya menderita OM tipe2. Kelompok ini memilikt kecenderungan kuat untuk menderita OM tipe2 nantinya (Fariss et 01., 2005).
. Subjek dengan resistensi insulin diduga memiliki akumulasi lemak intramioseluler yang lebih banyak karena penurunan jumlah mitokondria otot yang disebabkan oleh penurunan ekspresi gen yang mengatur bio?enesis mitokondria, seperti PPARy co activator 1 a (PGC-1 a ). Oiduga, resistensl insulin pada manusia mungkin muncul akibat defek pada fungsi mitokondria, yang pada gilirannya akan meningkatkan metabolit asam lemak intraselular (asil ko A lemak dan OAG) yang mengganggu sinyaling insulin pada otot dan hati. Oi lain pihak, fungsi mitokondria dlbutuhkan untuk terjadinya peningkatan ROS yang diinduksi asam lemak (Oobrian et at. 2001 ). Penjelasan akan hal Ini adalah bahwa bisa jadi peningkatan ROS yang disebabkan oksidasi asam lemak terjadi lebih awal selama perkembangan resistensi insulin dan sebandfng dengan disfungsi mitokondria. Pada tahap yang lebih lanjut, ROS dapat menyebabkan penurunan fungsi mitokondria yang akibatnya adalah akumulasi lemak pada otot dan hati, dan dengan demikian membangkitkan fenotipe resistensi insulin.







KESIMPULAN
Resistensi insulin terkait obesitas adalah kelainan yang kompleks yang melibatkan berbagai jalur mekanisme. Kemajuan dalam penelitian biologi molekuler telah membuat terobosan besar dalam menemukan banyak hal berkaitan dengan resistensi insulin dibanding sepuluh tahun lalu. Banyak jalur mekanisme yang secara simultan terganggu, dan ketika satu jalur terganggu, interkoneksinya dengan jalur lain akan mengakibatkan perubahan pada sistem lain. Mekanisme yang terjadi terkaft dengan banyak jalur dan mediator-mediator
yang juga terlibat dalam berbagai penyakit serius termasuk kanker dan kelainan autoimun.
Pemahaman detail dari tiap sistem dan bagalmana sistem-sistem ini terkait satu sarna lain pada manusia akan memberikan dasar bagi pencarian akan intervensi yang dapat memperbaiki keadaan ini, tidak hanya yang terkait dengan OM tipe 2 dan penyakit kardiovaskular, tetapi juga penyakit-penyakit yang memiliki jalur yang terkait dengan keadaan yang mendasari resistensi insulin seperti kanker dan kelainan autoimun









DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association diabetes statistics. http://www.diabetes.org/diabetes-statistics / prevalence. jsp).
Banerjee RR, Rangwala SM, Shapiro JS, Rich AS, Rhoades B, Qi Y, Wang J, Rajala MW, Pocai A, ft Scherer PE. 2004. Regulation of fasted blood glucose by resistin. Science, (303),1195-1198.
Bays, 2002. Role of the Adipocyte, Free Fatty Acids, and Ectopic Fat in Pathogenesis of Type 2 Diabetes Mellitus: Peroxisomal Proliferator-Activated Receptor Agonists Provide a Rational Therapeutic Approach. Journal of Endocrinology, 6(7), 75-80.
Bergman RN, Kim SP, Hsu IR, Catalano KJ, Chiu JD, Kabir M, Richey JM, ft Ader M. 2007. Abdominal obesity: Role in the pathophysiology of metabolic disease and cardiovascular risk. Am J Med, 120 (1 ),53-58.
Bjorntorp P .1991 .Metabolic implications of body fat distribution. Diabetes Care, 14 (14),1132-1143.
Cheung A, Ree 0, Kolls JK, Fuselier J, Coy 0, Bryer-Ash M. 1998. An in Vivo Model for Elucidation of the Mechanism of Tumor Necrosis Factor-ll' (TNF-O:)-Induced Insulin Resistance: Evidence for Differential Regulation of Insulin Signaling by TNF-O Endocrinology, 139(12),4928-4935
"
de la Maza MP. 2006. Weight increase and overweight are associated with DNA oxidative damage in skeletal muscle. Clin Nutr, '25(6),968-76.

Diez JJ ft Iglesias P. 2003. The role of the novel adipocyte derived hormone adiponectin in human disease. Eur J Endocrinol, (148),293-300.
Dobrian AD. 2001. Oxidative Stress in a Rat Model of Obesity-Induced Hypertension. Hypertension, 37(554).
Ehtesham NZ. 2001. Molecular link between diabetes and obesity: The resistin story. Current Science, 80(11 ),34-37.
Fariss MW. 2005. Role Of Mitochondria In Toxic Oxidative Stress. Molecular Interventions 5,94-111.
Furukawa S. 2004. Increased oxidative stress in obesity and its impact on metabolic syndrome. J Clin Invest, (114),1752-1761
Kantartzis K. 2006. The Relationships of Plasma Adiponectin with a Favorable Lipid Profile, Decreased Inflammation, and Less Ectopic Fat Accumulation Depend on Adiposity. Clinical Chemistry,_ (52),1934-1942
Maeda N, Shimomura I, Kishida K, Nishizawa H, Matsuda M, Nagaretani H, Furuyama N, Kondo H, Takahashi M, ft Arita Y. 2002. Diet-induced insulin resistance in mice lacking adiponectin/ ACRP30. Nat Med, 8, 731-737.
Mahan K ft Stump S. 2004. Krause's Food, Nutrition and Diet Therapy. Saunders, 565
569.
Miyazaki Y, Pipek R, Mandarino LJ, ft DeFronzo RA. 2003. Tumor necrosis factor and insulin resistance in obese type 2 diabetic patients. Int JObes Relat Metab Disord, (27),88-94.
Park J. 2006. Increase in Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase in Adipocytes Stimulates Oxidative Stress and Inflammatory Signals. Diabetes, (55),2939-2949.
Patel L, Buckels AC, Kinghorn IJ, Murdock PR, Holbrook JD, Plumpton C, Macphee CH, ft Smith SA. 2003. Resistin is expressed in human macrophages and directly regulated by PPAR activators. Biochem Biophys Res Commun, (300),472-476.
Qatanani M. 2007. Mechanisms of obesity-associated insulin resistance: many choices


on the menu. Genes & Dev. (21),14431455
Randle PJ, Garland PB, Hales CN, & Newsholme EA.1963. The glucose fattyacid cycle. Its role in insulin sensitivity and the metabolic disturbances of diabetes mellitus. Lancet, (1 ),785-789
Shulman GI. 2000. Cellular mechanisms of insulin resistance. J Clin Invest, (106), 171-176.
Unger RH & Orci L. 2000. Upotoxic diseases of nonadipose tissues in obesity. Int JObes Relat Metab Disord, 24(4),528-532
Urakawa H. 2003. Oxidative Stress Is Associated with Adiposity and Insulin Resistance in Men. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 10(88), 4673-4676
Yang Q, Graham TE, Mody N, Preitner F, Peroni 00, Zabolotny JM, Kotani K, Quadro L, & Kahn BB. 2005. Serum retinol binding protein 4 contributes to insulin resistance in obesity and type 2 diabetes. Nature, (436),356-362.

,;



SAP KANKER TIROID

SATUAN ACARA PENYULUHAN
SATUAN ACARA PENYULUHAN
(SAP)
Tema               : Kanker Tiroid
Sub tema         : Penatalaksanaan untuk kanker tiroid
Tanggal           : 23 September 2011
Waktu             : 30 menit
Sasaran            : Bpk. Tanto dan keluarga
Tempat            : Ruang K
Penyuluh         : Perawat Merry
       I.            Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit diharapkan Bpk. Tanto dan keluarga memahami tentang Penatalaksanaan untuk kanker tiroid.
    II.            Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit diharapkan Bpk. Tanto dan keluarga mampu:
1.      Bpk. Tanto dan keluarga dapat menjelaskan secara sederhana pengertian I-131.
2.      Bpk. Tanto dan keluarga dapat menjelaskan dampak positif dan negatif dari I-13I.
3.      Bpk. Tanto dan keluarga dapat menjelaskan cara prosedur pelaksanaan I-131.
4.      Bpk. Tanto dan keluarga dapat menjelaskan cara pengawasan dalam mengkonsumsi I-131.
 III.            Pokok Materi
A.    Pengertian I-131.
B.     Dampak positif dan negatif dari I-131.
C.     Cara prosedur pelaksanaan I-131.
D.    Cara pengawasan dalam mengkonsumsi I-131.
 IV.            Metode penyuluhan
a.       Ceramah
b.      Tanya jawab
    V.            Kegiatan Penyuluhan
Kegiatan
Penyuluh
Audience
Waktu
Pendahuluan & apersepsi
·         Salam pembuka
·         Menjelaskan tujuan penyuluhan
·         Apersepsi
·         Menjawab salam
·         Menyimak
·         Mendengarkan dan menjawab pertanyaan
5 menit
isi
·         Penyampaian garis besar materi tentang Penatalaksanaan untuk kanker tiroid
·         Memberi kesempatan pasien untuk bertanya
·         Menjawab pertanyaan
·         Mendengarkan dengan penuh perhatian
·         Menanyakan hal-hal yang belum jelas
·         Memperhatikan jawaban dari penceramah
15 menit
penutup
·         Evaluasi
·         Menyimpulkan
·         Pesan
·         Salam penutup
·         Tanya jawab
·         Mendengarkan
·         Menerima pesan
·         Menjawab salam
10 menit
 VI.            Media
a.       Leaflet
b.      Flif chart
VII.            Sumber/referensi
http://keladitikus.com/2011/03/17/karsinoma-tiroid/
VIII.            Evaluasi
a.       Formatif
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit Bpk. Tanto dan keluarga memahami tentang Penatalaksanaan untuk kanker tiroid.
b.      Sumatif
Setelah mengikuti penyuluhan selama 30 menit Bpk. Tanto dan keluarga mampu:
1.      Bpk. Tanto dan keluarga dapat menjelaskan secara sederhana pengertian I-131.
2.      Bpk. Tanto dan keluarga dapat menjelaskan dampak positif dan negatif dari I-13I.
3.      Bpk. Tanto dan keluarga dapat menjelaskan cara prosedur pelaksanaan I-131.
4.      Bpk. Tanto dan keluarga dapat menjelaskan cara pengawasan dalam mengkonsumsi I-131.


Lampiran Materi
A.           Pengertian I-131
Radioaktif iodin adalah salah satu isotop radioaktif. Jenis isotop radioaktif iodin yang digunakan dalam bidang kedokteran adalah I-123 dan I-131. Radioaktif iodin ini berkonsentrasi dalam kelenjar tiroid sama seperti iodium pada umumnya sehingga dapat digunakan untuk diagnosis maupun pengobatan.
Untuk diagnosa digunakan I-123 sedangkan untuk pengobatan yang bertujuan untuk menghancurkan kelenjar tiroid adalah I-131. Radioaktif iodin yang tidak berada di dalam tiroid akan segera dieliminasi dari tubuh melalui kelenjar keringat dan urine.
I-131 ini sendiri adalah suatu isotop yang terbuat dari iodin yang selalu memancarkan sinar radiasi. Jika I-131 ini dimasukkan kedalam tubuh dalam dosis yang kecil, maka I-131 ini akan masuk ke dalam pembuluh darah traktus gastrointestinalis. I-131 dan akan melewati kelenjar tiroid yang kemudian akan menghancurkan sel-sel glandula tersebut. Hal ini akan memperlambat aktifitas dari kelenjar tiroid dan dalam beberapa kasus dapat merubah kondisi tiroid yang semula overactive menjadi underactive.
I-131 digunakan untuk terapi graves’ disease, goiter, tiroid nodul, dan karsinoma tiroid. Seorang ahli bedah tiroid dapat mengeluarkan seluruh bagian dari tiroid dengan komplikasi bedah yang paling minimal, sedangkan I-131 digunakan untuk menghancurkan kelenjar yang masih tersisa. Dalam keadaan ini, tidak diperkenankan menggunakan hormon pengganti selama beberapa minggu setelah terapi dengan tujuan menurunkan level hormon tiroid hingga dibawah normal. Dengan demikian, I-131 dapat bekerja secara maksimal untuk menghancurkan tiroid yang tersisa. Pengobatan dengan cara ini dapat secara signifikan menurunkan kemungkinan timbulnya kembali kanker tiroid dan meningkatkan kemampuan dokter untuk mendeteksi dan mengobati kanker yang mungkin berulang.
B.            Dampak positif dan negatif dari I-131.
1.      Dampak positif
I-131 digunakan sebagai terapi pengobatan untuk kondisi tiroid yang over aktif atau kita sebut hipertiroid. I-131 ini sendiri adalah suatu isotop yang terbuat dari iodin yang selalu memancarkan sinar radiasi. Jika I-131 ini dimasukkan kedalam tubuh dalam dosis yang kecil, maka I-131 ini akan masuk ke dalam pembuluh darah traktus gastrointestinalis. I-131 dan akan melewati kelenjar tiroid yang kemudian akan menghancurkan sel-sel glandula tersebut. Hal ini akan memperlambat aktifitas dari kelenjar tiroid dan dalam beberapa kasus dapat merubah kondisi tiroid yang semula overactive menjadi underactive.
I-131 digunakan untuk terapi graves’ disease, goiter, tiroid nodul, dan karsinoma tiroid. Seorang ahli bedah tiroid dapat mengeluarkan seluruh bagian dari tiroid dengan komplikasi bedah yang paling minimal, sedangkan I-131 digunakan untuk menghancurkan kelenjar yang masih tersisa. Dalam keadaan ini, tidak diperkenankan menggunakan hormon pengganti selama beberapa minggu setelah terapi dengan tujuan menurunkan level hormon tiroid hingga dibawah normal. Dengan demikian, I-131 dapat bekerja secara maksimal untuk menghancurkan tiroid yang tersisa. Pengobatan dengan cara ini dapat secara signifikan menurunkan kemungkinan timbulnya kembali kanker tiroid dan meningkatkan kemampuan dokter untuk mendeteksi dan mengobati kanker yang mungkin berulang.
2.      Dampak negatif
Efek samping dari terapi ini pada umumnya adalah timbulnya rasa nyeri setelah pengobatan dan pembengkakan kelenjar ludah. Untuk hal ini, maka penderita boleh diberikan obat simptomatik seperti aspirin, ibuprofen atau asetaminofen.
C.            Cara prosedur pelaksanaan I-131.
I-131 ditelan dalam bentuk dosis tunggal dengan bentuk kapsul atau cair dan dengan cepat masuk ke dalam pembuluh darah traktus gastrointestinalis, masuk ke dalam kelenjar tiroid dan mulai menghancurkan kelenjar tiroidnya. Efeknya baru akan terlihat dalam jangka waktu satu sampai tiga bulan dengan efek maksimal tiga sampai enam bulan setelah pengobatan.
D.           Cara pengawasan dalam mengkonsumsi I-131.
Seseorang yang sedang dalam terapi I-131 ini sebenarnya diperbolehkan pulang ke rumah, dengan catatan tidak boleh melakukan kontak yang terlalu dekat dan lama dengan orang lain untuk beberapa hari terutama wanita hamil dan anak-anak. I-131 akan keluar dari tubuh selama dua hari pertama pengobatan, terutama melalui urin. Selain itu juga ada yang diekskresikan dalam kelenjar liur, kelenjar keringat, kelenjar air mata, sekresi cairan vagina dan feses. Akan lebih baik lagi, bila seseorang yang sedang menjalani terapi ini beristirahat selama beberapa hari, terutama yang pekerjaan sehari-harinya kontak dngan anak-anak dan wanita hamil.
Nuclear Regulatory Commission merekomendasikan sebagai berikut :
·         Gunakan fasilitas toilet pribadi, jika ada, dan cucilah dua kali lebih banyak setelah menggunakannya.
·         Mandi setiap hari dan cucilah tangan sesering mungkin
·         Minum cairan dalam jumlah yang normal
·         Gunakanlah alat makan yang disposabel atau pisahkan dengan alat makan yang lain saat mencucinya
·         Cuci pakaian dan semua yang kontak dengan tubuh tiap hari dan harus dipisah dari pakaian anggota keluarga yang lain. Tidak diperlukan teknik pencucian yang khusus
·         Jangan menyiapkan makanan kepada orang lain jika mengharuskan penderita kontak tangan lama dengan makanan tersebut
I-131 yang diberikan selama periode kehamilan akan berakibat rusaknya kelenjar tiroid pada bayi. I-131 dapat masuk ke dalam tubuh bayi melalui air susu penderita. Karena itulah kebanyakan para ahli menunda terapi pada wanita yang sedang dalam masa menyusui. Selain itu, kehamilan sebisa mungkin ditunda paling tidak enam sampai 12 bulan setelah terapi karena adanya paparan radiasi pada ovarium.
Terapi ini memerlukan suatu keahlian khusus, karena itulah mereka yang terlibat langsung dalam bagian pengobatan ini adalah para ahli radiologi yang telah mendapat pelatihan khusus di bidang kedokteran nuklir, termasuk juga para ahli endokrinologi, onkologi, ahli bedah dan petugas lapangan.
M.   LEGAL ETIK
Kode etik
a.       Otonomi
Memberikan pilihan yang terbaik untuk klien tanpa harus memaksakan kehendak kita.
b.      Normadificience
Menghindari segala bahaya yang nantinya akan terjadi kepada klien
c.       Keadilan
Perawat harus memperlakukan klien dengan tanpa ada melihat pangkat atau jabatan dari pasien
d.      Kesetiaan
Memegang janji, maksudnya menjaga kerahasiaan pasien
e.       Kerahasiaan
Selalu memberika informasi kepada klien, namun jika harus dirahasiakan perawat harus bisa menyimpan rahasia tersebut dari klien.
f.       Tanggung jawab
Perawat melaksanakan tugas sebaik mungkin
g.      Tanggung gugat
Perawat menerima segala masukan dan kritikan dari pasien
Aspek legal
1.      Ancaman
2.      Kekerasan
3.      Kelalaian
4.      Malpraktek
5.      Informconcent
Caring
1.      Kehadiran
2.      Sentuhan
3.      Mendengarkan
Sebagai perawat kita harus mendengarkan segala keluhan pasien dalam hal apapun.
4.      Memahami klien
Fungsi advokasi
1.      Membina hubungan saling percaya antara perawat dengan klien . supaya dapat membantu melancarkan prosedur-prosedur dan tindakan keperawatan.
2.      Memahami klien sewaktu-waktu untuk menguatkan pasien terhadap penyakitnya.
3.      Mendorong pasien untuk mengungkapkan rasa takut dan cemasnya menghadapi proses penyakitnya agar dapat membantu pasien menyadari keadaan dirinya.