Halusinasi
PengertianPersepsi didefinisikan sebagai suatu proses diterimanya rangsang sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau sensasi: proses penerimaan rangsang (Stuart, 2007).
Persepsi merupakan tanggapan indera terhadap rangsangan yang datang dari luar, dimana rangsangan tersebut dapat berupa rangsangan penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecapan dan perabaan. Interpretasi (tafsir) terhadap rangsangan yang datang dari luar itu dapat mengalami gangguan sehingga terjadilah salah tafsir (missinterpretation). Salah tafsir tersebut terjadi antara lain karena adanya keadaan afek yang luar biasa, seperti marah, takut, excited (tercengang), sedih dan nafsu yang memuncak sehingga terjadi gangguan atau perubahan persepsi (Triwahono, 2004).
Perubahan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan antara rangsang yang timbul dari sumber internal seperti pikiran, perasaan, sensasi somatik dengan impuls dan stimulus eksternal. Dengan maksud bahwa manusia masih mempunyai kemampuan dalam membandingkan dan mengenal mana yang merupakan respon dari luar dirinya. Manusia yang mempunyai ego yang sehat dapat membedakan antara fantasi dan kenyataaan. Mereka dalam menggunakan proses pikir yang logis, membedakan dengan pengalaman dan dapat memvalidasikan serta mengevaluasinya secara akurat (Nasution, 2003).
Perubahan persepsi sensori ditandai oleh adanya halusinasi. Beberapa pengertian mengenai halusinasi di bawah ini dikemukakan oleh beberapa ahli:
Halusinasi adalah pengalaman panca indera tanpa adanya rangsangan (stimulus) misalnya penderita mendengar suara-suara, bisikan di telinganya padahal tidak ada sumber dari suara bisikan itu (Hawari, 2001).
Halusinasi adalah persepsi sensorik yang keliru dan melibatkan panca indera (Isaacs, 2002).
Halusinasi adalah gangguan penyerapan atau persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat terjadi pada sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh dan baik. Maksudnya rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan dari luar dan dari dalam diri individu. Dengan kata lain klien berespon terhadap rangsangan yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Nasution, 2003).
Halusinasi merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren: persepsi palsu (Maramis, 2005).
Halusinasi adalah sensasi panca indera tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat, mendengar, membau, ada rasa raba dan rasa kecap meskipun tidak ada sesuatu rangsang yang tertuju pada kelima indera tersebut (Izzudin, 2005).
Halusinasi adalah kesan, respon dan pengalaman sensori yang salah (Stuart, 2007).
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara manusia, hewan atau mesin, barang, kejadian alamiah dan musik dalam keadaan sadar tanpa adanya rangsang apapun (Maramis, 2005).
Halusinasi pendengaran adalah mendengar suara atau bunyi yang berkisar dari suara sederhana sampai suara yang berbicara mengenai klien sehingga klien berespon terhadap suara atau bunyi tersebut (Stuart, 2007).
Dari beberapa pengertian yang dikemukan oleh para ahli mengenai halusinasi di atas, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa halusinasi adalah persepsi klien melalui panca indera terhadap lingkungan tanpa ada stimulus atau rangsangan yang nyata. Sedangkan halusinasi pendengaran adalah kondisi dimana pasien mendengar suara, terutamanya suara–suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
Faktor penyebab
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
Faktor predisposisi
1). Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut:
a). Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal, temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
b). Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang berlebihan dan masalah-masalah pada system reseptor dopamin dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
c). Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi otak klien dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil (cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh otopsi (post-mortem).
2). Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup klien.
3). Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan, bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan masalah koping dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Keliat, 2006).
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:
1). Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpretasikan.
2). Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
3). Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stressor.
Tanda dan Gejala Halusinasi
Menurut Hamid (2000) :
Bicara sendiri.
Senyum sendiri.
Ketawa sendiri.
Menggerakkan bibir tanpa suara.
Pergerakan mata yang cepat
Respon verbal yang lambat
Menarik diri dari orang lain.
Berusaha untuk menghindari orang lain.
Tidak dapat membedakan yang nyata dan tidak nyata.
Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah.
Perhatian dengan lingkungan yang kurang atau hanya beberapa detik.
Berkonsentrasi dengan pengalaman sensori.
Sulit berhubungan dengan orang lain.
Ekspresi muka tegang.
Mudah tersinggung, jengkel dan marah.
Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat.
Tampak tremor dan berkeringat.
Perilaku panik.
Agitasi dan kataton.
Curiga dan bermusuhan.
Bertindak merusak diri, orang lain dan lingkungan.
Ketakutan.
Tidak dapat mengurus diri.
Biasa terdapat disorientasi waktu, tempat dan orang.
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) yang dikutip oleh Nasution (2003), seseorang yang mengalami halusinasi biasanya memperlihatkan gejala-gejala yang khas yaitu:
Menyeringai atau tertawa yang tidak sesuai.
Menggerakkan bibirnya tanpa menimbulkan suara.
Gerakan mata abnormal.
Respon verbal yang lambat.
Diam.
Bertindak seolah-olah dipenuhi sesuatu yang mengasyikkan.
Peningkatan sistem saraf otonom yang menunjukkan ansietas misalnya peningkatan nadi, pernafasan dan tekanan darah.
Penyempitan kemampuan konsenstrasi.
Dipenuhi dengan pengalaman sensori.
Mungkin kehilangan kemampuan untuk membedakan antara halusinasi dengan realitas.
Lebih cenderung mengikuti petunjuk yang diberikan oleh halusinasinya daripada menolaknya.
Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain.
Rentang perhatian hanya beberapa menit atau detik.
Berkeringat banyak.
Tremor.
Ketidakmampuan untuk mengikuti petunjuk.
Perilaku menyerang teror seperti panik.
Sangat potensial melakukan bunuh diri atau membunuh orang lain.
Kegiatan fisik yang merefleksikan isi halusinasi seperti amuk dan agitasi.
Menarik diri atau katatonik.
Tidak mampu berespon terhadap petunjuk yang kompleks.
Tidak mampu berespon terhadap lebih dari satu orang.
Jenis-Jenis Halusinasi
Halusinasi
Auditorik/Akustik/Dengar.
Gangguan ini sudah pasti meliputi organ pendengaran kita. Bisikan-bisikan yang terdengar di telinga penderita menjadi faktor pendorong perbuatan penderita. Suara ini tentu saja tidak ditemukan di lingkungan sekeliling penderita. Misalnya penderita mendengar suara ancaman kepada dirinya yang membuat penderita sangat ketakutan dan mungkin memunculkan perilaku bersembunyi akut. Atau bisikan untuk mengakhiri hidup sendiri atau hidup orang lain, atau pasien mendengar ada suara ngakak mentertawakan dan menghina dirinya. Yah, intinya suara-suara/bisikan-bisikan yang hanya pasien yang mendengarnya sedang sumbernya tidak dijumpai.
Gangguan ini sudah pasti meliputi organ pendengaran kita. Bisikan-bisikan yang terdengar di telinga penderita menjadi faktor pendorong perbuatan penderita. Suara ini tentu saja tidak ditemukan di lingkungan sekeliling penderita. Misalnya penderita mendengar suara ancaman kepada dirinya yang membuat penderita sangat ketakutan dan mungkin memunculkan perilaku bersembunyi akut. Atau bisikan untuk mengakhiri hidup sendiri atau hidup orang lain, atau pasien mendengar ada suara ngakak mentertawakan dan menghina dirinya. Yah, intinya suara-suara/bisikan-bisikan yang hanya pasien yang mendengarnya sedang sumbernya tidak dijumpai.
Halusinasi Visual/Lihat.
Halusinasi dari organ penglihatan (mata). Pasien melihat, sedang orang di sekitar sama sekali tidak. Atau kenyataannya di mata orang lain tidak ada apa-apa sedangkan pasien yakin sekali melihat. Misalnya, melihat bentangan alam yang indah, melihat hewan-hewan, monster, dan lain-lain.
Halusinasi dari organ penglihatan (mata). Pasien melihat, sedang orang di sekitar sama sekali tidak. Atau kenyataannya di mata orang lain tidak ada apa-apa sedangkan pasien yakin sekali melihat. Misalnya, melihat bentangan alam yang indah, melihat hewan-hewan, monster, dan lain-lain.
Halusinasi Olfaktorik/Penciuman
(Bau/Hidu).
Tidak ada sumber bau, tetapi penderita yakin menghirup bau-bau tertentu. Misalnya bau parfum, bau busuk, bau menyengat, dan lain-lain. Kelainan ini jarang terjadi, dan ada dugaan kelainan ini muncul dengan kecenderungan adanya kerusakan otak organik.
Tidak ada sumber bau, tetapi penderita yakin menghirup bau-bau tertentu. Misalnya bau parfum, bau busuk, bau menyengat, dan lain-lain. Kelainan ini jarang terjadi, dan ada dugaan kelainan ini muncul dengan kecenderungan adanya kerusakan otak organik.
Halusinasi Gustatorik/Kecap.
Penderita merasakan sensasi rasa di mulutnya. Kelainan ini sering terjadi bergandengan dengan adanya gangguan penghidu/pembau/olfaktorik.
Halusinasi
Taktil/Raba-Rasa/Kinestetik.Penderita merasakan sensasi rasa di mulutnya. Kelainan ini sering terjadi bergandengan dengan adanya gangguan penghidu/pembau/olfaktorik.
Penderita merasakan sensasi taktil/raba-rasa di tubuhnya yang tentu saja tanpa sumber/stimulus/rangsangan/trigger. Misalnya penderita merasakan sakit, merasakan seperti di setrum, merasa digebukin, merasakan panas, merasakan kedinginan. Lebih khusus lagi dari gangguan ke-5 ini: Jika sensasi raba yang dirasakan penderita adalah rangsangan erotis (seksual) maka disebut sebagai halusinasi heptik;Jika pasien melaporkan adanya perasaan sedang merasakan proses pembentukan cairan tubuh, seperti merasakan pembentukan feses, urin, atau darah maka disebut halusinasi cenesthetik; Sedangkan yang dimaksud halusinasi kinestetik apabila pasien merasakan dirinya bergerak padahal posisinya saat itu tidak bergerak sama sekali Tahapan halusinasi
Tahapan terjadinya halusinasi terdiri dari 4 fase menurut Stuart dan Laraia (2001) dan setiap fase memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu:
Fase I : Klien mengalami perasaan mendalam seperti ansietas, kesepian, rasa bersalah dan takut serta mencoba untuk berfokus pada pikiran yang menyenangkan untuk meredakan ansietas. Di sini klien tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai, menggerakkan lidah tanpa suara, pergerakan mata yang cepat, diam dan asyik sendiri.
Fase II : Pengalaman sensori menjijikkan dan menakutkan. Klien mulai lepas kendali dan mungkin mencoba untuk mengambil jarak dirinya dengan sumber yang dipersepsikan. Disini terjadi peningkatan tanda-tanda sistem saraf otonom akibat ansietas seperti peningkatan tanda-tanda vital (denyut jantung, pernapasan dan tekanan darah), asyik dengan pengalaman sensori dan kehilangan kemampuan untuk membedakan halusinasi dengan realita.
Fase III : Klien berhenti menghentikan perlawanan terhadap halusinasi dan menyerah pada halusinasi tersebut. Di sini klien sukar berhubungan dengan orang lain, berkeringat, tremor, tidak mampu mematuhi perintah dari orang lain dan berada dalam kondisi yang sangat menegangkan terutama jika akan berhubungan dengan orang lain.
Fase IV : Pengalaman sensori menjadi mengancam jika klien mengikuti perintah halusinasi. Di sini terjadi perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri, tidak mampu berespon terhadap perintah yang kompleks dan tidak mampu berespon lebih dari 1 orang. Kondisi klien sangat membahayakan.
Rentang respon :
Adaptif Maladaptif
< _______________________________________________________________________________________>
Pikiran logis distosi pikiran( fikiran kotor) gangguan pikir/ delusi
Presepsi akurat ilusi halusinasi
Emosi konsisten reaksi emosi berlebihan prilaku disorganisasi
Pprilaku sesuai prilaku aneh & tidak biasa isolasi sosial
Faktor predisposisi
1). Faktor perkembangan terlambat
a). Usia bayi tidak terpenuhi kebutuhan makanan, minum dan rasa aman.
b). Usia balita, tidak terpenuhi kebutuhan otonomi.
c ). Usia sekolah mengalami peristiwa yang tidak terselesaikan.
2). Faktor komunikasi dalam keluarga
a). Komunikasi peran ganda.
b). Tidak ada komunikasi.
c). Tidak ada kehangatan.
d). Komunikasi dengan emosi berlebihan.
e) . Komunikasi tertutup.
f). Orang tua yang membandingkan anak – anaknya, orang tua yang otoritas dan komplik orang tua.
3). Faktor sosial budaya
Isolasi sosial pada yang usia lanjut, cacat, sakit kronis, tuntutan lingkungan yang terlalu tinggi.
4). Faktor psikologis
Mudah kecewa, mudah putus asa, kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri negatif dan koping destruktif.
5). Faktor biologis
Adanya kejadian terhadap fisik, berupa : atrofi otak, pembesaran vertikel, perubahan besar dan bentuk sel korteks dan limbik.
6). Faktor genetik
Telah diketahui bahwa genetik schizofrenia diturunkan melalui kromoson tertentu. Namun demikian kromoson yang keberapa yang menjadi faktor penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Diduga letak gen skizofrenia adalah kromoson nomor enam, dengan kontribusi genetik tambahan nomor 4,8,5 dan 22. Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara jika di zygote peluangnya sebesar 15 %, seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka peluangnya menjadi 35 %.
Faktor presipitasi
Faktor –faktor pencetus respon neurobiologis meliputi:
1).Berlebihannya proses informasi pada system syaraf yang menerima dan memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
2).Mekanisme penghataran listrik di syaraf terganggu (mekanisme penerimaan abnormal).
3). Adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan tidak berdaya.
Pohon Masalah
Resiko mencideerai diri sendiri , orang lain
( Halusinasi ) core problem
Isolasi sosial : menarik diri
Gangguan konsep diri : HDR
Masalah Keperawatan
Menurut Keliat (2006):
Perubahan persepsi sensori : halusinasi pendengaran.
Resiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan.
Isolasi sosial : menarik diri.
Gangguan konsep diri : harga diri rendah.
Intoleransi aktifitas.
Defisit perawatan diri.
Daftar Pustaka :
1.Hamid, Achir Yani. (2000). Buku Pedoman Askep Jiwa-1 Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2.Hawari, Dadang. (2001). Pendekatan Holistik pada gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3.Isaacs, Ann. (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatri. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4.Keliat, Budi Anna. (2006) Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5.Maramis, W. F. (2005). Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 9. Surabaya: Airlangga University Press.
6.Townsend, Mary. C. (2000). Psychiatric Mental Health Nursing Concepts Of Care. Edisi 3. Philadelphia: F. A. Davis Company
7.Stuart dan Laraia. (2001). Principle and Practice Of Psychiatric Nursing. edisi 6. St. Louis: Mosby Year Book.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar